jaedoyie


Sepuluh menit sudah berlalu sejak pesan terakhir yang dikirim oleh Ayesha kepada Milca dan Anka. Kedua kakak beradik itu masih menunggu dua orang sahabatnya, yang tak kunjung tiba di kediaman salah satu sahabatnya itu. Saat kedua kakak beradik ini tengah sibuk memanjakan diri mereka di sofa, tiba-tiba muncul dua manusia dari balik pintu yang sudah mereka tunggu kehadirannya sejak tadi.

“Lama banget si lo berdua” sapa Anka sedikit ketus kepada Juan dan Esha.

“Banyak titipan kali ka, makanya jadi lama” ucap Juan sambil merebahkan tubuhnya di sofa sebelah Anka.

“Maaf ya tuan putri, kalo harus buat kalian lama nunggunya” ucap Esha sambil tersenyum ke arah Anka.

“Iya iya gue maafin. Sini sha duduk ngapain lu berdiri terus sih, padahal lu yang punya rumah juga hahaha” perintah Anka kepada Esha sambil sedikit tertawa.

Kemudian sang tuan rumah hanya menuruti perintah sahabatnya itu, dan kini mulai menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil memejamkan matanya untuk sekejap. Ketika ia tengah menikmati kenyamanan itu, tiba-tiba suara yang sangat ia kenali berhasil membangunkan dirinya yang hampir tertidur.

“Sha, gimana Mas Tara?” tanya Milca kepada Esha sambil menatap sahabatnya yang kini hanya terdiam.

“Ya, tadi kan udah dibahas ka. Biarin aja lah dia udah bahagia dan kalo mau tanya soal tweetnya dia itu gue yang saranin” ucap Esha begitu lancar, hingga membuat para sahabatnya menatap penuh kebingungan.

“Iya sha, tapi besok-besok jangan dikasih saran lagi ya. Kita cuma gak mau lo terjebak di ruang dan waktu yang sama terus” ucap Anka cukup tenang.

Melihat topik pembicaraan sudah mulai terasa canggung, membuat Juan berinisiatif untuk menghentikkan pembahasan tersebut.

“Udah jangan dilanjutin lagi, mending makan aja yuk. Tadi Esha beli makanan lumayan banyak nih buat kita” tutur Juan sambil mengambil sejumlah paper bag berisi makanan.

Dan hanya direspons anggukan pelan oleh ketiga sahabatnya, kemudian mereka menikmati makanan sambil menonton series.


Sudah satu jam berlalu sejak mereka duduk bersama sambil menikmati makanan serta menonton series, namun belum ada topik yang mampu membuat mereka beranjak dari posisi nyamannya. Hingga suara notifikasi ponsel Esha berbunyi, berhasil membuat ketiga sahabatnya itu beranjak dari posisinya, dan tengah menatap Esha dengan tatapan seakan bertanya 'dari siapa?'.

“Gue check dulu ya” ucap Esha sambil menggerakkan ponselnya ke arah sahabatnya.

Ketiga sahabatnya hanya mengangguk sambil terus menunggu jawaban dari Esha, siapa yang mengiriminya pesan saat ini. Setelah Esha melihat bar notifikasi ponselnya, kini ia siap memberitahu sahabat-sahabatnya itu.

“Davin” jawab Esha singkat sambil meletakkan kembali ponselnya.

“Balas dulu kali Sha, jangan dicuekin gitu ah” tutur Juan sambil menatap Esha cukup tajam.

“Iya iya gue jawab dulu” ucap Esha.

Saat Esha fokus dengan ponselnya, ketiga sahabatnya ini hanya mampu tersenyum sambil menggelengkan kepala mereka, karena melihat tingkah laku dirinya yang sedikit cuek kepada orang yang mengiriminya pesan tersebut.

“Gue mau nanya deh sha sama lo” ucap Juan sambil meletakkan bantal sofa di dadanya.

“Hmm, tanya aja ju” jawab Esha.

“Emang lu beneran gak ada perasaan ke Davin? seenggaknya terima kek ajakannya dia kalo ngajak lu jalan” tutur Juan

“Ya, gimana gue bingung Ju. Kapan-kapan deh gue coba kalo dia ngajak lagi” jawab Esha sambil memasang muka datar di wajahnya.

“Apa karena dia terlalu Marcell buat lu?” tanya Juan.

“Ha apaan dah? kok tiba-tiba jadi Marcell?” tanya Milca sedikit bingung.

“Peri cintaku maksudnya Juan ka” ucap Anka kepada Milca.

“Emang Davin beda keyakinan sama lu Sha?” tanya Milca yang masih sedikit kebingungan.

“Iya ka” jawab Esha cukup singkat.

“Gapapa kali Sha, coba dulu aja daripada lu mengharap yang gak pasti” tutur Juan.

“Gue gak bisa Ju. Kalo udah terlanjur sayang susah lepasnya pasti, lebih baik gak usah dimulai dari awal” ucap Esha menjelaskan sedikit alasannya, mengapa sampai saat ini ia tidak bisa merespons perasaan Davin kepadanya.

“Udah waktunya Sha lu harus tinggalin yang lalu, dan lu berhak dapatin kebahagiaan yang sama kaya Tara” ucap Anka sambil memeluk sahabatnya yang berada di sampingnya.

Belum sempat Esha menjawab ucapan sahabatnya tiba-tiba suara yang sangat ia kenal berhasil mewakili jawabannya.

“Esha itu kebanyakan mikirin mantannya, jadinya gitu tuh. Mau dicomblangin sama siapa aja pasti selalu banyak alasannya haha” ucap seorang laki-laki yang kini sduah berada tepat dihadapan mereka berempat.

Benar, laki-laki itu adalah Andra. Kakak laki-laki Esha.

“Eh Mas Andra” ucap Milca sambil tersipu malu.

“Iya Milca. Kalian udah pada makan belum? kalo belum mau makan apa biar gue yang pesanin” ucap Andra sambil menatap mereka.

“Oh, udah kok mas. Tadi Esha udah bawain makanan banyak hehe” jawab Anka.

“Syukurlah kalo udah makan, takutnya si Esha lupa” ucap Andra sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Iya mas, besok jam berapa mas ke luar kotanya?” tanya Milca kepada Andra yang membuat ketiga sahabatnya terheran-heran.

“Mungkin jam satu atau jam dua sih ka” jawab Andra.

“Oh gitu ya mas” jawab Milca.

“Iya, kayanya gua tinggal dulu deh soalnya gua harus packing. Nanti Esha bisa ngamuk kalo gua belum packing haha” ucap Andra sambil sedikit tertawa.

“Udah gue packingin, nanti lo check lagi aja” tutur Esha sedikit malas.

“Serius? baik banget sih adek gua ini haha” ucap Andra sambil mencubit gemas adik perempuan satu-satunya itu.

“Udah sana naik deh lo, sekalian check lagi barang kali ada yang kelewat” jawab Esha sambil berusaha menjauhkan tangan kakaknya itu

“Iya iya, yaudah gua tinggal ya. Titip adek gua kalo perlu bujuk dia deh supaya punya pacar biar gak galau terus haha” pamit Andra sambil pelan pelan menaikki anak tangga.

Dan dibalas tawa kecil oleh ketiga sahabat adiknya itu, setelah Andra meninggalkan mereka. Kini, mereka sibuk berbincang sambil tertawa lepas entah apa yang mereka bahas. Hingga mereka lupa waktu terus berjalan dan semakin larut.


Jojo dan Jaevian, kini tengah sibuk membantu Caca perihal tugas yang diberikan oleh Dosennya tersebut. Hingga menyisakan dua orang yang sudah lama tak bersua, terhanyut dalam keheningan cukup lama. Menyadari suasana yang sedikit canggung, membuat Tian berancang-ancang untuk memulai komunikasi dengan Aletta.

“Hmm... Hi, Al” sapa Tian kepada Aletta sedikit kikuk.

Merasa dirinya sedang diajak berbicara dengan laki-laki itu, membuat Aletta segera merespons ucapan sang laki-laki.

“Yan, kita kan udah ngobrol bareng dari tadi. Intro lo masih aja kaku banget” tukas Aletta.

“Hehe, iya Al. Kan belum ngobrol berdua sama kamu” ucap Tian sambil tersenyum.

“Santai aja sih, Yan. Gue gak akan ngamuk ke lo kali haha” tutur Aletta sedikit bercanda.

”.... Jadi gimana, Al?” balas Tian setelah sempat terdiam.

“Masih sama aja kaya dulu. Gak ada yang beda, Yan” balas Aletta.

“Kata siapa gak ada yang beda? Aku lihat makin ada perbedaan yang signifikan di kamu” tutur Tian sedikit serius.

Mendengar ucapan Tian yang sedikit serius, membuat Aletta merasa sedikit tak yakin dengan apa yang diucapkan oleh laki-laki dari masa lalunya.

“Enggak ada, kayanya. Emang apa sih? coba jelasin ke gue kalo ada” jawab Aletta yang kini sudah mencoba serius menanggapi ucapan laki-laki itu.

“Kamu semakin cantik, Al. Sayang banget aku gak bisa selalu ada untuk kamu” tutur Tian dengan sangat serius.

Kata-kata itu bak mangnet yang berhasil menarik dirinya, menuju kutub yang berlawanan. Sontak membuat Aletta menoleh ke arah Tian yang kini sudah berada tepat di sisi kirinya, dan hanya mampu tertegun memandangi laki-laki itu. Setelah mendengar kata-kata itu mereka sempat beradu tatap cukup lama, hingga membuat ketiga orang temannya merasa tak enak hati untuk menghentikkan adegan ini.

“SUMPAH PURA-PURA GAK LIHAT GUE, TUHAN” ucap Caca setengah histeris dengan volume suara yang ia buat seminimal mungkin.

“Ssttt... Ca, jangan ganggu. Biarin aja, udah lama mereka gak kaya gitu” ucap Jojo setengah berbisik kepada Caca.

Oh no. Adegan FTV banget nih, hehe” tutur Jaevian sedikit bercanda.

“Udah biarin aja, lebih baik kita pura-pura gak tahu. Yuk, kita lanjutin aja biar mereka gak curiga ke kita” tutur Jojo seraya mengajak Caca dan Jaevian, untuk tidak memperhatikkan dua insan tersebut.

Sial! batin Aletta sedikit mengumpat kesal. Setelah sekian lama, mengapa harus hari ini dirinya merasa seperti ditarik ke masa lalu. Merasa tak ingin mengingatnya, kini Aletta tersadar dan segera mengalihkan pandangannya.

“Gak jelas deh lo. Kebanyakan nonton film romance jadi cheesy” jawab Aletta sedikit ketus.

Tian hanya mampu tersenyum melihat ekspresi Aletta, yang ia anggap sangat menggemaskan. Bagi dirinya setiap ekspresi yang Aletta tunjukkan adalah sebuah Masterpiece dari sang pencipta.

“Loh, emang itu kan faktanya. Jangan cemberut gitu Al, nanti kalo ada yang lihat terus suka sama kamu gimana? kan bisa gawat urusannya hehe” ucap Tian sedikit jahil.

“Makin gak jelas lo gue lihat-lihat. Capek banget gue nahan ke uwuan ini dari tadi” pungkas Caca yang kini sudah merasa geram dengan ucapan Tian.

Mendengar ucapan Caca membuat Jojo terkejut, hingga sedikit menarik lengan kemeja gadis itu. Gadis itu tak ingin melihat sahabatnya berlarut-larut dalam jeratan ucapan manis, sang laki-laki yang kini sudah ia tatap cukup tajam.

“LET IKUT GUE SEKARANG JUGA!” perintah Caca kepada Aletta.

Merasa sedikit bingung dengan tingkah laku sahabatnya, namun Aletta tetap saja mengikuti permintaan sahabatnya itu.

“Mau kemana si Ca?” tanya Jojo yang berusaha menghentikkan pergerakkan kedua gadis tersebut, yang sudah hampir bergegas pergi meninggalkan ketiga laki-laki itu.

“DIAM LO! GAK USAH BANYAK TANYA!” ucap Caca dengan intonasi sedikit lantang

“Udah Jo, santai aja. Paling dia cuma mau ngajak foto-foto” tutur Aletta begitu tenang, meski ia berada disamping sahabatnya yang sedang merasa geram.

Ketiga laki-laki itu hanya mampu mengiyakan keinginan salah satu gadis tersebut, yang kini sudah berada di sebuah spot foto. Caca mengeluarkan ponsel dan tengah membuka kameranya untuk segera mengambil gambar sahabatnya, yang ia anggap sia-sia jika tidak ia abadikan. Kemudian, dua gadis itu sibuk dengan mengambil gambar secara bergantian disertai dengan canda tawa khas mereka.

Tanpa mereka sadari, ada banyak netra yang saat ini tengah menatap mereka dengan tatapan kebahagiaan. Bagi Aletta momentum seperti ini, yang mampu membuat dirinya merasa hidup kembali.


Sudah hampir setengah jam sejak kedatangan Aletta ke sebuah coffee shop, gadis ini masih terdiam dan berpaku pada ponselnya. Ia diam bukan karena ia menginginkannya, namun ada berbagai macam gejolak di dalam batinnya yang membuat dirinya hanya mampu terdiam seribu bahasa. Ada sepasang netra yang diam-diam memperhatikannya sejak ia menapakkan kaki di tempat ini, netra itu memancarkan tatapan penuh ketulusan sekaligus penyesalan. Sang pemilik netra hanya mampu memandangi diri sang gadis, dari sebuah meja yang berjarak beberapa meter dari kediamannya.

“Maaf ya mas, Jaevian telat” ucap suara laki-laki yang memecah konsentrasi sang pemilik netra, yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Eh, iya gapapa kok Jaev. Tadi Aletta juga udah pamit ke gue” tuturnya.

“Mas Argha lagi ngelihat apa sih, kok sampe gak fokus gitu? hehe” tanya Jaevian sang laki-laki, yang membuyarkan konsentrasi si pemilik netra itu.

“Ah, enggak kok. Oh iya Jaev, kamu sama Caca langsung ke mejanya Aletta saja. Soalnya dia udah nunggu kalian dari tadi tuh” tutur laki-laki itu, kepada Jaevian dan Caca yang baru saja sampai di tempat ini.

“Iya mas, Jaevian izin kesana dulu ya mas. Maaf ya mas, hari ini Jaevian jadi gak maksimal bantuin mas Arghanya” tutur Jaevian sambil tersenyum simpul.

Benar. Laki-laki yang sejak awal menatap Aletta cukup dalam dan bermakna, ialah Argha Kusuma sang pemilik coffee shop ini. Ia adalah putra sulung di keluarga Kusuma, yang merupakan kakak laki-laki Aletta Kusuma dan Windra Kusuma. Bagi Jaevian, sang pemilik tempat ini dikenal cukup ceria dan terbuka sehingga ia bertanya ketika mendapati sang pemilik coffee shop, hanya diam dan terpaku pada satu titik.

“Iya, gapapa kok Jaev. Yasudah, langsung susul Aletta saja ya” ucap laki-laki itu.

Jaevian dan Caca yang mendengar ucapan itu, segera mengangguk dan bergegas menghampiri Aletta yang sudah menunggu mereka sejak setengah jam yang lalu.


Selang sepuluh menit kedatangan Jaevian dan Caca, kini sudah ada dua orang laki-laki yang tiba di coffee shop itu. Ya, mereka adalah Jojo dan Tian yang sudah memiliki janji temu dengan sang adik pemilik tempat ini. Mendapati pemandangan yang tak asing baginya, Argha segera menghampiri kedua laki-laki tersebut.

“Loh, ada tamu jauh nih” sapa Argha kepada Jojo dan Tian, yang kini sudah berdiri tepat dihadapannya.

“Iya nih, udah lama banget ya bro kita gak ketemu” jawab Tian kepada Argha sambil tersenyum.

“Iya nih, maaf ya bro udah lama kita gak main kesini. Ya, terakhir pas masih ada Bella aja” tutur Jojo.

“Iya, udah lama banget ya. Gue juga sampai lupa itu kapan haha” balas Argha.

“Gimana bro, lancar kan?” tanya Tian.

“Ya, seperti yang kalian lihat sekarang” ucap Argha.

Suasana di coffee shop ini memang ramai pengunjung setiap harinya, tapi tetap saja meskipun ramai dengan pengunjung, tempat ini tidak menghasilkan suara gaduh ataupun riuh. Suasana di tempat ini dikenal cukup tenang, sehingga banyak pengunjung yang memutuskan untuk berkunjung kesini. Sekadar hanya untuk bertemu dengan teman, mengerjakan tugas, ataupun bertemu dengan klien.

“Dari dulu sih, vibesnya enak banget disini” tutur Jojo sedikit antusias.

Argha hanya tersenyum dan tak merespons ucapan Jojo

“Bro, Al dimana?” tanya Tian kepada Argha.

“Pasti ya, gak jauh-jauh yang dicari adik gue hehe” jawab Argha.

“Iya dong, masa yang dicari Pak Jhordan. Nanti kalo dikasih saham kan ribet urusannya haha” tutur Jojo sedikit mengajak bercanda.

“Haha, bisa aja lo Jo” balas Argha.

Kemudian, Argha mengantar kedua laki-laki itu menuju tempat kediaman adiknya.

“Dek, ini Tian sama Jojo baru sampai” ucap Argha kepada Aletta yang tengah berdiskusi dengan Jaevian dan Caca.

“Iya mas, makasih ya. Udah mau antar Jojo sama Tian ke mejaku” tutur Aletta kepada sang kakak, yang kini sedang tersenyum kepadanya.

“Iya, sama-sama. Yan, Jo silahkan duduk” tutur Argha sambil mempersilahkan tamu adiknya untuk segera duduk.

“Makasih bro” ucap Tian dan Jojo.

“Santai aja, kalo gitu gue balik lagi ya ke depan” pamit Argha kepada mereka.

Aletta hanya tersenyum merespons ucapan kakaknya, dan di ikuti dengan teman-temannya. Setelah kakaknya meninggalkan kediamannya, kini mereka semua sibuk berbincang dan berdiskusi perihal membantu tugas Caca dan Maudy. Hingga Jojo menghentikkan diskusi tersebut, dengan membuka topik yang berbeda.

“Eh, Yan. Lo bawa apa sih kok gak di keluarin? Mau lo simpan aja tuh barang sampai nanti balik haha” ucap Jojo sambil memberikan aba-aba kepada Tian, untuk segera mengeluarkan bingkisan yang mereka bawa.

“Bawa apaan si lo pada?” tanya Caca sedikit penasaran.

“Ini Ca, ada sedikit bingkisan buat lu sama Aletta” tutur Tian sambil mengulurkan dua bingkisan kepada Aletta dan Caca.

“Tumben, tapi makasih deh ya. Lumayan gue jadi punya makanan nih buat nanti ngerjain tugas haha” balas Caca sambil menerima uluran bingkisan untuknya, yang diberikan oleh Tian.

“Al, ini buat kamu” ucap Tian sambil berusaha mengulurkan kembali bingkisan yang ia bawa, sambil tersenyum kepada sang lawan bicara.

Aletta tak menggubrisnya dan hanya fokus pada layar ponselnya, melihat pemandangan yang sedikit canggung membuat Jojo sedikit terusik dan kembali angkat bicara, seraya membantu sahabatnya itu.

“Al, terima dulu dong itu bingkisan dari Tian” ucap Jojo yang kini membuyarkan fokus Aletta.

“Oh... maaf-maaf ya. Makasih ya Yan, kan udah gue bilang jangan bawain buat gue” balas Aletta sambil sedikit terburu-buru menerima bingkisan tersebut.

“Lagi ada apa sih Al, kayanya lo serius banget?” tanya Jojo.

“Biasa Jo, lagi lihat lomba” balas Aletta.

“Lomba apa ka?” tanya Jaevian.

“Biasa, fotografi nih” ucap Aletta yang masih terfokus dengan ponselnya.

“Bukannya minggu lalu baru dibuka pendaftaran buat lombanya ka?” balas Jaevian.

“Iya, ini gue lagi cari info masih bisa atau enggak kalo gue daftar sekarang” ucap Aletta.

“Setau Jaevian sih, masih bisa kok kak. Coba aja kakak daftar” balas Jaevian.

“Iya, ini gue lagi daftar Jaev. Ternyata masih bisa”. tutur Aletta.

Melihat dua orang yang sedang fokus membahas topik tersebut, membuat tiga orang lainnya hanya mampu diam sejenak.

“Pantes, kalo udah soal begini mah gak bisa diganggu” ucap Jojo.

Memang benar, jika sudah berkaitan dengan fotografi pasti Aletta sangat antusias dan bisa mengabaikan sekitar untuk beberapa saat.

“Kalo bukan cuan, gue masih bisa santai Jo” tutur Aletta.

“Hmm, kamu fokus ke pendaftaran aja Al” ucap Tian kepada Aletta yang kini baru saja meletakkan ponselnya di meja.

“Udah selesai kok, yuk lanjut” ucap Aletta sambil menatap teman-temannya.

“Kamera kak Aletta gimana kak? butuh di service gak sebelum lomba? biar nanti Jaevian bawa ke tempat service langganan Jaevian” ucap Jaevian kepada Aletta.

“Hmm, coba nanti gue check dulu ya Jaev. Kalo emang butuh di service nanti gue kabarin lo kok” jawab Aletta sambil berusah mengingat kondisi kameranya.

“Iya kak, kabarin Jaevian aja” balas Jaevian.

Mendengar ucapan Jaevian yang seperti itu, kini Aletta hanya mengacungkan ibu jarinya sebagai isyarat ia mengiyakan ucapan Jaevian.


Gavin baru saja pergi meninggalkan lab komputer untuk bertemu dengan sahabatnya, netranya sibuk menjelajah sekeliling untuk mencari dimana keberadaan sahabatnya itu. Setelah hampir lima menit ia menghabiskan waktu untuk menjelajah dengan menggunakan netranya, ia berhasil menemukan sahabatnya yang tengah duduk di lorong sebelah kanan laboratorium komputer itu.

Kemudian, ia bergegas menghampiri sahabatnya dengan sedikit berlari kecil.

“ngapain lari coba?” tanya Windra kepada sahabatnya, dengan tawa kecil.

“gapapa, biar lu gak kelamaan nunggunya haha” jawab Gavin sambil meninju lengan sahabatnya, dengan tempo yang sangat lambat.

“santai aja kali wkwk, oh iya ini ada titipan dari Yubbard” ucap Windra sambil mengulurkan sebuah tas, yang berisikan beberapa hadiah pemberian dari Yubbard.

“kenapa harus lo sih, yang repot-repot nganterin ini? harusnya biar gue aja Win yang ngambil ini ke rumah lo” ucap Gavin sambil menerima uluran sahabatnya itu.

“gapapa lah vin, sekalian mau jalan-jalan sebentar aja haha” ucap Windra sambil sedikit tertawa.

Tak menanggapi ucapan sahabatnya, kini Gavin hanya sibuk menatap sahabatnya dengan tatapan cukup tajam.

“iya, iya. Lain kali biar lo aja yang ambil deh hehe” ucap Windra sambil tertawa kecil, melihat ekspresi sahabatnya yang menurut ia sedikit berlebihan.

“yaudah, terus sekarang lo mau kemana nih?” tanya Gavin sedikit menginterogasi sahabatnya, yang kini mengalihkan pandangannya ke layar ponsel.

“mau main ke rumah Yubbard sih, soalnya dia lagi sendirian” ucap Windra

“hmm... yaudah, maaf gue gak bisa ikut kesana juga ya Win” ucap Gavin dengan sedikit nada menyesal.

“iya santai aja Vin, yaudah sana balik lagi. Kasian tuh, Yudha pasti nungguin lu sendirian di dalam hehe” ucap Windra

Lagi, Gavin tak merespons perkataan sahabatnya dan hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.

Kemudian, Windra berpamitan dengan sahabatnya untuk melanjutkan kembali tujuannya. Setelah Windra pergi beberapa langkah meninggalkan Gavin, ia memutuskan untuk kembali ke dalam laboratorium komputer. Namun, niat semulanya harus ia urungkan demi melihat pemandangan yang tak biasa.

Benar, ia melihat Windra yang tengah memeluk dan menggenggam erat tangan seorang wanita yang ia kenal. Alam pikirannya, kini dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang mampu membuatnya diam dan mematung cukup lama.


Aletta dan Axelle berjalan menelusuri setiap lorong yang tersedia di kampusnya, mereka berjalan dengan tempo yang santai dan seirama. Di tengah perjalanannya, Aletta dan Axelle seketika terkejut mendapati pemandangan, yang sudah lama tak pernah ia lihat. mereka bertemu dengan dua orang laki-laki yang sedang berbincang dengan orang yang ingin Aletta temui.

Orang itu ialah Windra, sang kakak nomor dua. Ia kini tengah larut berbincang dengan dua orang laki-laki yang Aletta kenal dengan jelas. Ya, orang itu adalah Jojo dan Tian, manusia yang pernah menjadi bagian dari kisah putih abu-abunya.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Aletta dan Axelle melanjutkan langkah kaki mereka menghampiri Windra.

“Loh, Al kok cuma sama Axelle aja? Ravin sama Maudy kemana?” sapa Windra kepada Adiknya dengan pertanyaan tersebut.

“Iya, Ravin sama Maudy lagi ada kelas. Axelle juga ada jadwal setelah ini” jawab Aletta sambil mengulas sedikit senyuman kepada Jojo dan Tian.

“Hi, Axelle” sapa Windra kepada sahabat adiknya itu.

“Hi, mas Windra” jawab Axelle sambil tersenyum.

“Basi banget sih intronya haha” cetus Aletta kepada kakaknya.

“Yeh, namanya juga usaha cari topik sih Al. Nih, titipannya Andre” jawab Windra sambil mengulurkan tas yang berada digenggamannya, berisi beberapa barang dari Andre.

“Makasih mas” jawab Aletta singkat.

“Oh iya, lu berdua kenapa udah jarang banget main sama adek gue sih?” tanya Windra kepada Tian dan Jojo yang tengah sibuk membungkam.

“Jadwalnya aja yang lagi padat win, makanya jarang main” ucap Tian sambil tersenyum ke arah Aletta dengan tatapan penuh arti.

“Iya win, kaya lu lupa aja gimana agenda anak teknik” ucap Jojo sedikit membantu Tian kepada Windra.

“Iya sih, tapi kan ya bisa lah sekali-kali main wkwk” ucap Windra sambil tertawa kecil, karena ia memahami situasi yang sebenarnya.

“I-iya... nan..” belum selesai Tian menyelesaikan ucapannya, Aletta lebih dulu menyelak ucapannya itu.

“Iya, hari ini mau main kok mas. Sama Caca juga” ucap Aletta yang sengaja menyelak ucapan Tian, agar kakaknya tidak lagi bertanya-tanya terkait Tian dengan dirinya.

“Oh, mau main kemana emangnya?” tanya Windra sedikit jahil kepada adiknya.

Axelle yang mendapati pemandangan tersebut, hanya bisa menggelengkan kepalanya sangat pelan sambil tersenyum. Ia mengetahui dengan jelas karakter sahabatnya itu, akan cepat gugup dalam kondisi sedikit terpojok.

“The Vichi. Ya kan Yan, Jo?” tanya Aletta sedikit meyakinkan kedua laki-laki itu.

“I-iya Win, kita mau kesana” ucap Tian sedikit ragu.

Aletta menatap Tian dengan penuh isyarat seakan ia berbicara 'jawab aja iya, biar cepat selesai'. Tian memahaminya dengan jelas, dan segera ia meresponsnya.

“Oh yaudah, kalau emang mau main bareng” ucap Windra.

“Iya, mas Win gue duluan ya. Mau balikin Axelle ke kelasnya, soalnya Pak Rizal udah masuk kelas katanya” pamit Aletta sedikit tergesa-gesa, dan tak lupa ia melambaikan tangan ke arah kakak dan dua orang temannya itu.

“Iya Al, hati-hati awas jatuh” ucap Windra sedikit lantang kepada adiknya yang kini mulai menjauh dari tempatnya.

Namun, adiknya tak merespons dan hanya menganggukan kepala tanda ia mengerti ucapan kakaknya itu.

Setelah Aletta dan Axelle meninggalkan mereka, Windra kembali bertanya kepada Jojo dan Tian sebelum ia meninggalkan dua laki-laki itu.

“Lu berdua lihat Gavin gak?” tanya Windra

“Gavin lagi di Lab sama si Yudha Win” jawab Jojo

“Oh, oke. Makasih infonya, gue kesana dulu deh kalo gitu” pamit windra.

Dua laki-laki itu hanya mengiyakan keinginan Windra untuk bertemu sahabatnya itu. Setelah Windra meninggalkan mereka, kini Jojo dan Tian kembali berjalan menelusuri lorong menuju Atrium. Sambil menunggu kelanjutan rencana perginya bersama Aletta dan Caca.


Semula suasana Auditorium begitu riuh dipenuhi suara gelak tawa, khas para Mahasiswa yang sedang berinteraksi dengan Dosen mereka. Kini suasana itu perlahan lenyap dan hanya menciptakan keheningan, momentum ini terjadi karena semua netra tengah sibuk memandang seorang gadis yang sedang berjalan menuju sumber suara, yang sedari tadi namanya dan nama temannya dipanggil secara berkala. Pasalnya, gadis itu cukup terkenal dengan karakternya yang sedikit cuek dan memiliki sisi beku bak lemari pendingin.

Kemudian, gadis itu bersama temannya melangkahkan kaki mereka semakin dekat dengan sumber suara yang berhasil membawanya kesana. Sebelum menuju tempat tujuannya, mereka harus melewati empat orang laki-laki yang sudah tiba disana sejak awal. Aletta yang mengetahui hal tersebut, hanya memilih diam dan kembali melanjutkan langkah kakinya. Empat orang laki-laki itu terlihat sedikit canggung dan hanya terdiam sejenak, hingga tiba giliran gadis berikutnya yang berjalan melintasi mereka. Kehadiran gadis itu mampu memecah kecanggungan yang ada dengan mengulas sebuah senyuman di pipinya, yang ditujukan untuk salah satu diantara empat laki-laki itu.

“Woy gua disenyumin Axelle woy” bisik salah satu laki-laki itu kepada teman-temannya.

“Biasa aja yud, jangan terlalu berlebihan” ucap salah satu temannya.

“Enggak bisa anjir... Axelle cantik banget hehehe” jawab laki-laki itu kembali.

“Tenang sebentar dong yud, kita lagi di depan nih” pungkas salah satu temannya.

“Iya iya, maaf deh” jawab laki-laki itu sedikit malas, namun tetap saja dirinya kini sedang tersenyum mengingat momentum 5 menit lalu.

Setelah percakapan singkat antar laki-laki itu, mereka semua yang berdiri di depan podium perlahan meninggalkan Auditorium bersama dengan Pak Rafi Dosen mereka.


Sudah hampir dua jam sejak mereka meninggalkan Auditorium bersama Dosen mereka, kini mereka tengah mendapat pengarahan serta berdiskusi sedikit terkait project yang akan dilakukan oleh mereka nantinya.

“Baik, jadi apakah ada yang merasa keberatan dengan project yang akan saya buat?” ucap Pak Rafi kepada Mahasiswa dan Mahasiswi pilihannya itu.

“Kalau kami sih, sama sekali enggak keberatan pak” jawab perwakilan empat orang laki-laki itu.

“Ih vin, kok lu bilang gak keberatan sih” bisik salah satu temannya.

“Oke, terimakasih Gavin atas responsnya. Yudha kamu kenapa?” tanya Pak Rafi kepada sosok laki-laki yang merasa sedikit keberatan dengan respons temannya.

“Hmm... Enggak kok pak, saya cuma merasa kram di kaki saya hehe” jawab laki-laki itu, kepada Dosennya.

“Oh, yasudah. Kalau Aletta dan Axelle bagaimana?” tanya Pak Rafi kepada dua gadis, yang kini hanya diam sambil memperhatikan Dosennya dari meja seberang.

“Kalau saya pribadi tidak merasa keberatan pak, tapi kalau Axelle saya kurang tahu” jawab Aletta

“Saya mau kok pak, beneran deh hehe” ucap Axelle lebih awal, sebelum dirinya mendapati pertanyaan serupa.

“Baik. Karena semuanya tidak merasa keberatan, saya rasa pertemuan hari ini sampai disini saja, dan untuk pertemuan berikutnya akan saya informasikan kembali”

” Baik pak, terimakasih” jawab mereka serentak

“Ya, silahkan kembali ke kelas masing-masing bagi yang masih ada jadwal”

Setelah pertemuan itu berakhir Aletta dan Axelle memilih untuk singgah sebentar di sekitar Damandiri, sedangkan Gavin dan teman-temannya, serta Jaevian memilih untuk kembali ke lantai satu.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Aletta dan Axelle memutuskan untuk beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

Setelah kedua gadis tersebut menyadari hal tersebut, mereka memutuskan untuk bergegas kembali menuju Auditorium. Belum genap langkah mereka menuju Auditorium, fokus mereka berhasil dibuyarkan oleh beberapa suara laki-laki yang kini berada tepat di belakang mereka.

Aletta mengetahui salah satu suara laki-laki itu, namun ia memilih tak menggubrisnya dan sengaja menarik lengan Axelle. Sahabatnya yang kini berdiri tepat di sampingnya, sedikit dibuat kebingungan oleh tingkah laku dirinya. Pasalnya, hal tersebut tergambar jelas di wajah Axelle hingga ia tak memiliki kesempatan untuk bertanya kepada sahabatnya itu.

Ketika mereka melanjutkan langkahnya perlahan menuju Auditorium, suara salah satu laki-laki itu berhasil mengejutkan kembali kedua gadis ini. Aletta mendengar dengan jelas suara yang ia kenali, berkali-kali memanggil namanya dan tengah berharap dirinya akan menoleh ke sumber suara tersebut, walaupun hanya beberapa saat.

“Aletta...” ucap seorang laki-laki yang mengenal Aletta.

Namun, masih tak ada jawaban dari sang pemilik nama.

“Kak Aletta, dipanggil sama bang Tian nih kak” ucap Jaevian sedikit membantu kakak tingkatnya, yang kini sedang berusaha memanggil perempuan itu.

“Iya, Jaev” jawab Aletta singkat sambil membalikkan punggungnya ke arah sumber suara dan sedikit tersenyum simpul.

“Gue kira si Aletta gak bakal nengok wkwk” bisik Yudha ke telinga Jojo dan Gavin yang berdiri disampingnya.

“Ikut kelas Pak Rafi juga, Al?” tanya laki-laki itu sambil melangkahkan kakinya menuju sang lawan bicara.

“Berasa nonton FTV gak sih wkwk” bisik Yudha ke telinga teman-temannya lagi.

“Ssttt... Diam sebentar yud, jangan ganggu” jawab Jojo

“Iya yud, bentar aja kok” ucap Gavin yang tengah menatap kedua insan tersebut dengan penuh asumsi.

“Iya, ikut kok. Lo juga ikut sesi ini?” tanya Aletta kepada lawan bicaranya.

“Iya, hehe. Lancar Al?” tanya laki-laki itu.

“Hmm... Ya seperti biasa aja” jawab Aletta.

Kemudian mereka berbincang cukup lama, hingga salah satu dari mereka berusaha untuk menghentikkan pembicaraan tersebut.

“Yan, udah telat banget nih. Gue duluan ya” Pamit Aletta kepada laki-laki itu sambil melambaikan tangan ke arah beberapa laki-laki lainnya, serta Jaevian.

Laki-laki itu hanya mengangguk pelan, tanda menyetujui permintaannya.

Tanpa mereka sadari, nampak sepasang netra yang tidak berhenti memperhatikan kedua insan tersebut.

Setelah Aletta dan Axelle meninggalkan mereka, sekumpulan laki-laki itu pun memutuskan untuk memasuki Auditorium.

Benar, saja baru beberapa langkah mereka menginjakkan kaki di ruangan itu, sang Dosen tengah memulai kelas dengan penuh energi.

Merasakan aura jahil sang Dosen akan menghampiri, mereka memilih untuk melangkahkan kakinya secara perlahan.

Setelah membeli bakso bakar, Aletta dan Axelle bergegas memasuki area kampus sambil sedikit berlari. Karena mereka menyadari, bahwa mereka akan telat mengikuti kelas umum Pak Rafi, dan mereka sangat memahami karakter Dosennya yang sedikit jahil terhadap mahasiswa serta mahasiswinya.

Sesaat sebelum mereka memasuki area kampus, ada empat pasang netra yang tiada hentinya mengedarkan pandangan kepada dua gadis itu. Namun, sangat disayangkan kedua gadis tersebut tak menyadarinya dan tengah sibuk berlarian menuju Auditorium.

Seketika derap langkah kaki kedua gadis tersebut terhenti, di depan seorang laki-laki bertubuh tinggi yang sedang mengamati mereka dengan penuh tanya.

“Kak Aletta sama Kak Axelle kenapa lari-larian?” tanya laki-laki itu kepada dua gadis dihadapannya yang tengah mengatur deru nafasnya.

“Itu.. abis... beli...bakso...bakar...Jaev” jawab Axelle sedikit terbata-bata.

“Ngejar biar enggak telat kelas Pak Rafi, Jaev” jawab Aletta cukup tenang, meski deru nafasnya belum terlalu stabil.

“Oalah, Kak Aletta sama Kak Axelle ikut kelas sesi satu ya kak?” tanya Jaevian kepada dua gadis dihadapannya, yang merupakan kakak tingkat di kampusnya.

“Iya, Jaev” jawab Axelle dengan cepat.

“Lo ikut sesi satu juga, Jaev?” tanya Aletta kepada Jaevian yang tengah sedikit tersenyum kepadanya.

“Enggak kak, Jaevian sesi dua”

“Lah, kok jam segini udah datang jaev?” tanya Axelle sedikit penasaran.

“Iya kak. Pak Rafi bilang mau ada project gitu, sekalian cari anggota lagi dari sesi satu”

“Project apa Jaev?” tanya Aletta berikutnya.

“Jaevian juga kurang tahu kak, Pak Rafi belum jelasin tentang projectnya”

Kedua gadis tersebut hanya menganggukkan kepala sambil memutar bola matanya perlahan, seraya memikirkan apakah mereka yang akan dilibatkan dalam project itu. Tak terasa waktu terus bergulir dan pembicaraan mereka terus berlanjut, hingga kedua gadis tersebut melupakan satu hal.

Benar. Kelas Pak Rafi.


Aletta merebahkan tubuhnya di kasur, seraya memanjakan diri yang telah berhasil melalui hari yang cukup panjang ini. Ia tengah menikmati setiap momment saat dirinya menyatu dengan kelembutan kasur dan hangatnya selimut, rasanya ia tak ingin bergegas dari situasi tersebut. Rasa itu perlahan memudar, dan kini hanya ada rasa canggung dan sedikit cemas yang mulai menghampiri dirinya.

Bagaimana bisa perasaannya berubah dalam waktu sekejap?

Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya adalah bisa.

Perasaannya akan cepat berubah, setiap kali ia mendapat pesan baru dari group obrolan keluarganya. Bak tantangan yang harus ia lalui dalam sebuah permainan, untuk melaju ke babak berikutnya. Begitulah kiranya saat ia membaca pesan di group obrolan keluarga, seakan memberi sebuah isyarat agar dirinya untuk tetap waspada. Aletta sangat paham, ketika papahnya sudah mulai mengirim pesan di group keluarga, pasti akan ada saja tantangan yang harus ia hadapi.

Benar saja, raut wajah aletta kini terlihat sedikit masam.

Ia memilih untuk tidak lanjut membalas pesan papahnya di group keluarga, karena ia tak ingin terjadi selisih paham antara dirinya dan papahnya. Ia juga tak memenuhi permintaan mamah dan kakak-kakaknya, untuk kembali merespons pesan papahnya di group obrolan keluarga. Bukan karena ia tak menghormati mamah ataupun kakaknya, hanya saja ia tak mau merasakan sakit hati yang cukup dalam ketika ia harus berbicara ataupun bertukar pesan dengan papahnya.

Meskipun ia tahu kalau papahnya akan sangat marah dengan keputusan yang ia ambil, tetap saja ia melakukan hal itu. Bagi aletta, merespons pesan papahnya hanya akan menyakiti dirinya dan menguras energi yang cukup banyak.

Seandainya ada pilihan lari sepuluh kali lipat di Gelora Bung Karno atau membalas pesan papahnya, pasti ia akan memilih lari sepuluh kali lipat. Karena bagi dirinya membalas pesan papahnya dengan lari sepuluh kali lipat di Gelora Bung Karno, akan menguras energi yang sama banyaknya.


Setelah melihat bar notifikasi ponselnya, aletta terdiam sejenak dan tengah berusaha mencerna kata demi kata dari pesan yang ia dapatkan.

Sesaat setelah ia membaca kembali isi pesan tersebut, aletta mulai menjentikkan jarinya ke meja belajar. Ia nampak sedikit ragu akan isi pesan tersebut yang dikirim oleh seorang laki-laki, keraguan aletta hadir bukan karena ia tak mengenal laki-laki tersebut. Namun, bagaimana bisa laki-laki tersebut dengan santainya mengirim pesan seperti itu? sungguh membuat jantung aletta berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya.

Kini, aletta tengah sibuk menghadapi pergolakan batin dengan dirinya sendiri.

Ditengah pergolakan batin tersebut, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel yang berhasil menghentikan situasi rumit itu.

Acap, laki-laki itu menepati janjinya kepada aletta untuk menelpon. Entah apa yang akan dibicarakan oleh laki-laki itu kepadanya, namun satu hal yang aletta pikirkan saat ini, ialah terbenam dalam bantal serta selimut kasurnya. Jujur saja, pipi aletta saat ini sudah mulai memerah dan terasa sedikit panas.

Namun, ia harus bersikap biasa saja dan menjawab sambungan telepon tersebut, agar tidak membuat laki-laki itu mencurigai dirinya.

“halo, al? kok lama sih angkat teleponnya? kamu marah ya sama aku?” tanya laki-laki itu kepada aletta yang kini sedang mengingat apa saja pertanyaannya.

“iya halo yan, sorry kalo lama tadi abis ngambil minum hehe, engga kok gak marah” jawab aletta begitu lancar, namun ada sesuatu yang ia tahan agar tak mencuat begitu saja dari bibirnya.

Sial, batin aletta berkata sedikit kasar.

Sebenarnya, alasan dirinya telat mengangkat telepon laki-laki itu bukan karena mengambil minum. Hanya saja, ia sibuk dengan dirinya yang merasa sedikit gugup karena mendapati telepon dari laki-laki itu.

Laki-laki itu ialah Valentian, seseorang yang mampu membuat hari-hari aletta berwarna, serta membuat jantung aletta berdegup lebih cepat setiap harinya.

Kini, laki-laki itu mampu membuat jantung aletta berdegup lebih cepat lagi, setelah sekian lama ia tidak merasakan hal ini. Sambungan telepon tersebut belum berakhir, namun aletta hanya bergeming dan tak menghiraukan lawan bicaranya yang sedari tadi sedang mengajaknya berbicara.

“Al, kamu udah ngantuk ya? kok diem aja sih? gak suka ya kalo aku telepon?” suara tanya laki-laki itu mampu memecah keheningan yang sedang ia ciptakan.

“ah.. enggak kok yan, gue sambil ngerapihin meja belajar jadinya gak fokus” ucap aletta sambil sedikit menggigit bibir bawahnya.

Lagi, ia berbohong lagi demi menutupi dirinya yang sedikit salah tingkah.

“umm... kalo kamu ngantuk, tidur aja al jangan dipaksain belajar ya?” ucap tian.

“kenapa emangnya?” tanya aletta kepada laki-laki itu.

“aku khawatir kamu sakit al, istirahat aja ya?” tutur laki-laki itu sangat jelas.

Gotcha! perkataan laki-laki itu semakin membuat dirinya salah tingkah dan merasa terbang tinggi menuju angkasa.

“al? kamu baik-baik aja kan? aku takut kamu sakit, istirahat aja ya?” ucap laki-laki itu yang tedengar sedikit cemas akan lawan bicaranya.

”.....” namun, tak ada jawaban dari lawan bicaranya.

“al? aku tutup aja ya teleponnya biar kamu bisa istirahat” ucap tian cukup tegas.

Benar, tak kunjung ada jawaban dari aletta.

“yaudah ya al, aku tutup teleponnya? selamat istirahat my princess jangan lupa mimpi indah ya? see you my princess” ucap tian sambil berusaha menutup sambungan teleponnya.

Sebenarnya, ia tak ingin menutup sambungan teleponnya karena masih banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan aletta. Namun, lawan bicaranya tak kunjung memberikan jawaban bak hilang ditelan malam.

Setelah sambungan telepon itu terputus beberapa saat, aletta baru menyadari bahwa lawan bicaranya sudah cukup lama meninggalkan dirinya

“lah, kok mati? aneh” ucap aletta kepada dirinya sendiri.

Bukan tian yang aneh, namun dirinya sendiri yang sedari tadi sibuk melamun entah apa yang ia pikirkan, hingga ia kehilangan fokusnya ketika sedang diajak berbicara oleh laki-laki itu.

“gak jelas banget, masa iya gue salting gitu aja” ucap aletta yang sedang bermonolog dengan dirinya sendiri.

Setelah bermonolog cukup lama dengan dirinya sendiri, aletta memilih kembali melanjutkan aktivitas belajarnya sambil sesekali membuka ponselnya, yang lagi-lagi dibanjiri oleh notifikasi seseorang yang berbeda.